Sobat pada kesempatan kali ini saya akan berbagi pada sobat semua sebuah cerpen islami yang tentunya akan bisa menjadi sebuah inspirasi. Cerpen islami ini punya sebuah pesan yang baik untuk kita semua yang membaca, Cerpen ini juga menjadi ladang motivasi kita juga karena ketika kita melihat seorang remaja kecil, yang sudah mampu hafal 30-Juz Alqur'an dan juga tentang keberangkatanya ke tanah suci, yang sempat jegal keyakinanya oleh sang ayah namun ia tetap yakin pada keputusan yang ia buat dan ia sanggup memikul bebanya setelah haji.
Berikut adalah Cerpenya :
--- OPHELIA --
Oleh Tsaqif Al Adzin Imanulloh
Bus itu berhenti di sebuah ruas jalan menuju pesantren. Turun darinya seorang laki-laki. Lengannya kuat menjinjing kardus mie instant, kaos merek obat nyamuknya penuh peluh dan punggungnya masih tegak menggendong tas merek rokok yang sudah sedikit lusuh.
Sepanjang perjalanan dari jalan raya mukanya selalu tampak ceria. Seperti tidak ada beban. Tujuh tahun silam pernah ia lalui jalan ini. Enam belas rumah baru mengisi tepi jalan ini yang dulu kosong atau hanya kebun. Ia pun tahu bahwa tujuh tahun waktu yang cukup untuk sebuah kota mengganti terminal, membangun dua mall baru, membangun toko-toko, dan segala perubahan lainnya. Tapi semua itu tak penting baginya. Tujuh tahun yang paling penting baginya adalah tujuh tahun anaknya sekolah sembari menghafal Al-Quran.
Hari ini memang tidak genap tujuh tahun, tapi hari ini anaknya ikut khataman. Putri semata wayangnya itu khatam 30 juz Al-Quran walau tengah berumur 11 tahun. Tujuh tahun tak pernah sekalipun ia jenguk anaknya di pesantren. Mereka hanya bertemu jika musim libur tiba, atau terkadang setahun sekali.
“Benar, kamu mau menghafal Al-Quran?”
“Itu sesuatu yang mulia, Ayah.”
“Kamu mampu menjaganya setelah hafal?”
“Insya Allah.”
“Ayah tak tahu ‘ Insya Allah’ itu menguatkan janji, atau malah melemahkan janji, Ophe.”
“Yah, ‘Insya Allah’ itu penguat janji dan kewajiban dalam berjanji. Kata ‘Insya Allah’ adalah sebuah pengakuan bahwa kita tidak ada apa-apanya dengan Allah, dan segalanya yang menentukan Allah. Kebanyakan orang memang menggunakan ‘Insya Allah’ hanya sebagai pelemah atas janji, “tangan Ophe melingkar di leher ayahnya, ”Sekarang percaya kan sama Ophe?” Ophelia meraih tangan ayahnya dan meletakan di atas kepalanya.
“Sepenuhnya, percaya.”
Ayahnya menatap dalam-dalam mata Ophelia yang perhatiannya kini berpindah ke layar televisi. Mata Ophelia bagai cermin, bening dan menghadirkan bayangan istrinya yang meninggal sewaktu melahirkan Ophelia. Selama ini putrinya hanya tahu sosok ibunya dari potret pernikahan kedua orang tuanya.
“Ophe ngelamunin ibu lagi?” tanya ayahnya memporak-porandakan lamunan Ophe.
“Hah? Ah, tidak kok, yah,” sepasang mata bening Ophelia berjuang keras menahan embun yang mendesak-desak keluar.
“Oh ya, kalau nanti kamu hafal Quran, mau minta hadiah apa?” tawar ayahnya agar anaknya lebih termotifasi.
“Naik haji,” singkat Ophe, namun membuat ayahnya kaget sekaligus kagum. Kali ini permintaanya lebih hebat.
“Apa kamu sudah siap dengan status hajimu nanti?”
“Insya Allah,” sahut Ophelia ringan, namun pasti.
“Kalau sudah haji, otomatis masa mudamu hanya untuk ibadah. Tidak sesenang yang lain. Apa kamu juga siap?” tanya ayahnya berusaha memastikan, ”haji muda biasanya justru menyesatkan, loh! Teman ayah dulu banyak yang haji muda, tapi sikap dan sifat mereka tidak mencerminkan bahwa mereka sudah haji,” kali ini ayahnya mengucapkan dengan nada menakuti sekaligus memikul kekhawatiran kepada putri tunggal belengnya itu.
“Tak semuanya, Ayah... Ophe janji, Insya Allah setelah haji nanti, Ophe serahkan jiwa raga Ophe kepada Allah. Ophe harap sudah tidak ada lagi keraguan. Bagaimana, Ayah sanggup nggak ngasih hadiah itu? Ayah juga harus mengantar ke tanah suci, ya?”
“Insya Allah,” ujar ayahnya dengan meniru gaya nada ucap putrinya.”
Keduanya larut dalam malam tanpa sosok ibu. Kenangan itu masih lekat dibenaknya, dan kerap menjadi hiburan ketika hatinya sedih memikirkan istrinya yang tak merasakan kebahagiaan yang telah diberikan putrinya. Selama ini, putrinya selalu memberikan prestasi gemilang, rajin ibadah, mengaji Al-Quran dengan fasih, dan keshalehahan seorang perempuan.
Ayah Ophelia belum terlalu tua. Bahkan, sebagian orang tak menyangka kalau ia seorang duda. Entah sudah berapa kali Ophe meminta sang Ayah menikah kembali, namun ditolak dengan berbagai alasan. Ada sedikit rasa sesal yang berkecamuk di rongga dadanya karena menolak permintaan Ophe yang selalu membahagiakan dirinya.
Langkah kaki yang sempat melemah oleh kenangan yang melintas, kini menguat kembali. Sampailah ia di asrama putri dan langsung disambut salam hangat oleh anaknya. Kemudian mereka sowan ke Bapak, panggilan untuk kyai pendiri dan pengasuh pesantren tersebut. Dari sini, terlukis jelas betapa akrabnya hubungan kyai dengan para santrinya. Berbagai kesan positif berhasil ditangkap Ophelia setelah sowan.
Dengan penuh syukur, lebaran nanti Ophe bisa ke tanah suci. Namun, ada secercah rasa kecewa karena ayahnya tak bisa ikut haji. Ophelia pergi tanpa mengucap salam. Meninggalkan kesedihan yang mendalam di hati ayahnya. Pikiran dan batin berkecamuk mencoba mencari jalan keluar untuk membahagiakan anaknya. Sepenuhnya ia ingin bertanggung jawab atas kesedihan itu dan dialah yang harus menghapuskan kesedihan di hari bahagia ini.
Sedikit tersenyum terlihat dari wajahnya. Rupanya ia telah menemukan ide untuk membahagiakan putrinya. Ia akan menikah kembali!
“Ophe masih marah?”Ophe terdiam tak menjawab, “Ayah mau menikah kembali.”
“Oh ya, kapan?” wajah Ophe bersalin menjadi ceria. Terkejut.
“Nanti kita bicarakan. Yang penting kamu sekarang tampil khataman dengan baik dan jangan sedih lagi.”
“Iringan sholawat terdengar dari sisi panggung tanda acara segera dimulai. Nama-nama peserta dipanggil satu persatu. Ayah Ophelia terlihat senang ketika nama putrinya dipanggil. Nama pemberian istrinya ketika Ophe masih dalam rahim. Istrinya penggemar drama. Nama ‘Ophelia’ diambil dari Hamlet, salah satu magnus opum shakespare. Nama yang asing dari nama-nama peserta yang lain.
----------------------------------------------------------------------------
‘’Ayah masih ingat janji itu?’’
‘’Selepas kamu berangkat. Ayah langsung mencari.’’
‘’Ophe doakan dari tanah suci,yah. Selamat tinggal, Ayah,’’
Ophelia mencium hangat tangan renta ayahnya dan berlalu.
Tiga hari telah terlewati semenjak keberangkatan Ophe ke tanah suci. Ayahnya juga sudah mencari calon istri baru. Tiga perempuan sudah ia kenal. Sehari kenal satu perempuan menurutnya sudah cukup di umur yang tak semuda dulu. Perempuan pertama adalah sekretaris sebuah perusahaan, dengan tatanan rambut yang di set di salon dan berpakaian three pieces : blues, blazer, dan rok span.
Tetapi ia masih memegang opininya dulu, bahwa perempuan seperti ini cenderung berfikiran bahwa kebahagiaan hanya bisa didapat dari uang, bukan kasih sayang. Perempuan kedua adalah perempuan berhijab, anggun, dan ayu, tapi sayang cara berpakaiannya tidak menutupi aurat. Terlihat sekali lekukan tubuh. Perempuan ketiga adalah seniman yang ia temui dalam sebuah lakon drama di mana perempuan itu ikut berperan dalam drama tersebut. Keputusan menjadikan istri, jatuh pada perempuan ketiga ini yang gemar berpakaian gothic dengan kaos turtleneck longgar berlengan panjang dibalut celana dombrang. Tentunya bukan hanya karena itu, melainkan dengan argumen lain yang menguatkan bahwa ini lebih pantas dijadikan istri.
---------------------------------------------------------------------------
Detak-detik bersatu dalam menit yang menyalin waktu. Hari-hari yang berpadu merangkai minggu menngenapkan bulan. Waktu kepulangan Ophelia semakin dekat. Tak sabar ayahnya menuai rindu, dan memperkenalkan calon ibu baru bagi Ophelia.
Hari itu pun tiba. Rumah disiapkan serapi, sebersih dan seindah , mungkin untuk menyambut kedatangan Ophelia. Dua mobil disewa untuk menjemputnya. Sembari menunggu waktu untuk menjemput, sang ayah menonton televisi. Ia terkaget dan terhentak hingga menumpahkan secangkir kopi yang tengah diseruput pagi itu. Penerbangan kloter tujuh, di mana anaknya di kloter tersebut tertunda karena ada satu jamaah meninggal di kursi pesawat. Nama jamaah tersebut adalah Ophelia.
***
Salju menunggu cair di retina sang Ayah.
Paras Ophelia nampak putih melebihi pakaian ikhram, bibirnya tersenyum seolah melihat surga , matanya terpejam lembut dengan kelopak basah dan lentik alis yang berjajar rapi. Pipinya lesung tertarik bibir yang tersenyum. Ophelia benar-benar menyerahkan jiwa raganya pada Sang Khalik setelah haji.
‘’Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”
Sebuah kisah yang mengharukan sobat, namun ini bisa di jadikan sebuah motivasi untuk kita semua. oke sobat semoga kisah di atas bisa menjadi sebuah cerita insirasi untuk yang membaca dan juga bisa di jadikan sebuah contoh untuk anda yang mungkin juga berniat untuk membuat sebuah cerpen, tak harus bagus di awal yang penting adalah konsistensi dalam membuat. Oke sekian dari saya saya akhiri wassallam.