JERITAN BEGAL
TEMA : KRIMINALITAS
PENGARANG : MUHAMMAD NOOR FADILLAH
Suara bell tiba – tiba berbunyi memecah keheningan. Suara gaduh mulai terdengar di sudut – sudut kelas sekolah ini. Doa - doa yang terucap dari mulut siswa semakin semarak terdengar. Setiap kelas bagai saling bersahut – sahutan dengan doa dan asma - asmaNya.
Ku coba untuk mengalihkan pandangan sejenak keluar jendela dan melihat mereka semua keluar dari kelasnya masing - masing. Anak – anak berkerudung putih dan berkopiah itu keluar dengan tertibnya. Raut wajah mereka begitu menyenangkan dan meneduhkan hati berkat air wudhu yang selalu mereka amalkan dan dibiasakan.
Mereka terlihat senang dan gembira. Bercengkrama dengan teman - teman sejenis mereka. Sebagian para siswi - siswi ku lihat selalu membawa aneka buku ditangannya. Komat kamit bacaan selalu terbit dari bibir mereka. Subhanallah. Andaikan saja lebih banyak lagi muda mudi yang seperti ini. Kembali aku memandangi tumpukan buku yang ada dihadapanku ini.
Aku menghela nafas sesaat dan mengambil setumpuk buku – buku bersampul itu. Satu per satu buku itu aku buka. Rangkaian tulisan arab memenuhi seisi halaman pertama di buku itu. Dengan sabar aku mengoreksi pekerjaan muridku meski sebenarnya sudah waktunya pulang untukku.
Tiba – tiba terdengar suara orang yang sedang mengetuk pintu. Ku lihat kearah pintu yang ada di depan ku dan ternyata disana dua orang anak laki – laki telah berdiri. Aku mempersilahkan mereka untuk masuk.
“Ada apa nak ?” Tanya ku kepada dua anak itu.
Anak itu kemudian menyodorkan sebuah buku ke meja ku. “Tadi saya sedang piket pak jadi tidak sempat untuk mengumpulkan tugas saya. Maaf ya pak,”
Aku hanya memberikan senyum ramah kepada mereka dan menjawabnya dengan lembut.
“Bapak lembur lagi ya?” tanya salah seorang anak itu. Pandanganku terarah padanya.
“Iya nak. Bapak masih punya banyak tugas yang harus dikerjakan,” jawab ku seraya menunjukkan tumpukan buku – buku itu.
“Oh iya, bapak nanti kalau pulang lewat jalan depan rumah saya kan? Hati - hati ya pak, sekarang di jalan itu sedang musim begal,” air muka kedua anak itu berubah menjadi serius.
Aku terhenti sejenak dari kerjaanku, berusaha untuk mencerna arah pembicaraan kedua anak ini. Tapi aku tak terlalu menganggap serius perkataan mereka tadi. Ku kira mereka hanya sedang bergurau untuk menghiburku. Usai menyalami tanganku, kedua anak itu kemudian meninggalkanku dan kini tinggal aku saja yang masih tersisa diruangan yang sumpek ini. Sesekali batin ku terasa tak enak sejak perkataan anak tadi.
Tak terasa senja telah datang. Suara orang mengaji yang berasal dari radio terdengar di mesjid dan langgar – langgar. Cahaya mentari yang mulai redup menaburkan seberkas cahaya jingga ke ruangan ku yang mulai gelap ini. Para debu yang tadi terlihat beterbangan sekarang mulai menghilang.
Aku seharusnya sudah pulang sejak tadi. Tapi berhubung ada keperluan lain akhirnya baru sekarang aku bisa pulang. Hari ini cukup melelahkan bagiku.
Geraman motor akhirnya terdengar ketika aku menghidupkannya. Aku pun segera pulang takutnya kalau anak dan isteriku khawatir akan keadaanku. Di depanku sebuah jalanan yang melintang lurus ke depan terlihat mulai gelap.
Lampu - lampu jalan yang berdiri di sisi jalan hanya membisu. Mereka sepertinya kehabisan cahaya dan akhirnya membuat kota ini kian seperti kota mati dan menyeramkan ketika malam hari.
Ditengah jalan yang gelap itu, tiba – tiba terdengar suara jeritan seorang anak.
Aku berusaha mencari sumber suara itu. Kunyalakan senter yang ada pada handphoneku dan kuarahkan sinarnya disekelilingku. Sorot lampu ku akhirnya terhenti pada seorang anak yang sedang duduk sendirian dan menangis di bawah pohon. Aku mematikan mesin motor ku dan berusaha mendekati anak itu dengan setenang mungkin.
“Kamu kenapa anak manis ?” Tanyaku pelan sesaat aku berada dekat dengan anak itu.
Ia menatapku dan mengusap wajahnya yang berlinang air mata. “Aku tidak bisa pulang,” jawabnya dengan suara yang sedikit tertekan.
Aku duduk disampingnya. “Rumah kamu memangnya di mana?”
Ia kembali menatapku dan kini jari telunjuknya menunjukkan sebuah arah. Aku yakin itu arah rumahnya. Aku kemudian mengantarkan anak itu secepatnya.
“Berhenti !” pinta anak itu yang sempat membuatku kaget. Aku segera menginjak rem dan berhenti ditengah jalan yang sepi dan gelap.
Rumah - rumah penduduk sudah tak terlihat hingga membuat suasana menjadi semakin gelap. Hanya lampu motorku dan cahaya bulan yang sedikit menyinari sehingga aku masih bisa melihat ke depan.
Anak itu tiba-tiba turun dari motorku dan terus berjalan ke depan hingga menghilang dibalik gelap. Tiba – tiba dari arah sana muncullah dua orang berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah. Anak itu kini bersama mereka.
Hati ku mulai tak karuan. Detak jantung ku mulai berirama cepat dan ada perasaan yang tak enak dalam batin ku. Ada apa ini ?.
Dua orang laki – laki itu kini semakin mendekatiku sementara aku hanya bisa mematung di tempat ku. Mataku terus mengawasi setiap gerak gerik kedua orang asing itu.
Tiba – tiba mataku melotot ketika melihat mereka mengeluarkan sebuah samurai dan mandau dari belakang tubuh mereka.
Ingin rasanya aku berlari secepat mungkin namun entah kenapa kaki ini sudah tak bisa lagi bergerak. Kakiku terlanjur bergetar dan mulutku bergemeletuk kencang karena gemetaran bercampur doa – doa yang terus aku panjatkan. Pedang – pedang itu terhunus ditangan mereka dan siap mencabik - cabik tubuh musuh.
“Siapa kalian ?” aku berusaha memberanikan diri..
Mereka tak menjawab.
Mereka hanya menyodorkan pedangnya kearahku pertanda aku harus menjauh, namun aku masih mau bertahan di tempat ku.
Melihat sikapku yang tak merespon keinginannya dengan cepat mereka segera merampas motor ku. Aku tersungkur kejalanan karena dorongan yang begitu keras dari orang itu.
Kakiku mulai terasa lemas ketika melihat pedang-pedang itu mengkilap memantulkan cahaya rembulan. Dua orang itu masih saja mencoba melukaiku.
Mungkin mereka ingin aku mati agar tak ada bukti. Di saat itu tangan kanan ku tiba – tiba saja meraih sebuah balok kayu. Tanpa pikir panjang aku bangkit berdiri dan dengan cepat melakukan serangan balik.
Ku lihat orang yang memegang mandau itu mulai bereaksi. Ia mengayunkan mandaunya ke udara seperti ingin mengeluarkan sebuah jurus rahasia untuk melawanku.
Aku terus maju dengan sebuah senjata kayu ditangan. Ia pun mulai menebaskan mandaunya kearahku dengan membabi buta.
Dengan segenap keyakinan di hati aku sekuat tenaga menyerang dan menangkis setiap serangan yang ia berikan kepadaku.
Kayu yang ku pakai untuk melawan penjahat itu akhirnya menyerah juga. Senjata satu – satunya yang aku punya terpental karena sudah tak sanggup melawan tebasan sang mandau.
Orang itu tiba – tiba kembali melancarkan serangannya kepada aku yang sudah tak berdaya ini. Mandau itu ia pegang dengan kedua tangannya dan ia ayunkan ke atas kepalanya untuk mengambil ancang-ancang.
Aku yang sudah tak dapat berkutik hanya bisa pasrah menunggu ajal menjemputku. Dalam hitungan detik mandau itu sampai ke tubuh ku.
Sebuah cairan berbau amis tiba – tiba tercium dan mengalir di tanganku. Ku buka perlahan mata ku yang kini terlihat buram dan ternyata ku dapati bahwa tanganku dengan reflek menahan serangan itu. Rasa perih dan sakit seketika menggerogoti tangan ku yang mulai bergetar.
Darah segar terus keluar dari tangan ku dan membasahi jalanan yang gelap. Aku tersungkur kejalanan sambil merintih kesakitan. Tangan kiri ku berupaya dengan kuat menutupi sebuah lubang yang menganga lebar di tangan kananku.
Badanku terasa lemas dan pandangan ku tiba - tiba mulai samar – samar. Mungkin karena aku telah banyak kehilangan darah. Ku lihat motor ku telah mereka bawa, sementara aku hanya bisa merintih kesakitan menahan rasa perih yang teramat sangat ini diantara malam yang gelap, sendirian.
Dan kini tak ada cahaya lagi untuk menerangiku. Purnama pun seolah telah ikut di begal dan hilang seakan tak mau melihat pernderitaan ku malam ini.
TAMAT