Kemboja Merah
Tema : Keyakinan Cinta
Cerpen : Ahmad Zaini
Kemboja merah meranum tumbuh di pelataran rumah. Bunganya bermekaran indah sekali. Semerbak wanginya menusuki hidung semua orang yang mendekatinya. Tak ayal hasrat memetik keindahan bunganya membuncah di batok kepala mereka.
Atika menanam kemboja merah itu. Dia memeroleh bunga tersebut dari Kang Jais sebagai kenang-kenangan sebelum berangkat ke perantauan. Atika tidak ingin kenang-kenangan Kang Jais tercampakkan begitu saja. Gadis manis itu menanamnya di pelataran rumah. Dia ingin kenang-kenangan itu abadi selamanya.
“Mulai besok saya tidak ingin melihat kemboja itu lagi,” kata ayah Atika.
“Kenapa ayah? Bukankah kemboja ini dapat memperindah suasana rumah kita? Biarlah kemboja ini tumbuh di pelataran rumah,” sahut Atika.
“Tidak. Aku tidak ingin bunga kematian ini tumbuh di halaman rumah kita. Gantilah dengan bunga yang lain.”
“Tidak ayah. Biarlah kemboja ini tetap tumbuh dan bersemi di sini.”
“Kau ingin membunuh ibumu yang terbaring sakit?”
“Apa hubungan ibu yang sedang sakit dengan kemboja ini?” tanya Atika.
“Bunga yang kau bangga-banggakan itu membawa kesialan. Itu bunga pekuburan bukan bunga
perumahan. Kau bongkar sendiri bunga itu atau aku yang akan membongkarnya?”
“Jangan ayah! Aku mohon jangan dibongkar!” rengek Atika pada ayahnya. Dia bersikeras pada pendiriannya. Dia melarang ayahnya memotong kemboja merah yang tumbuh anggun di pelataran rumahnya.
Sepasang kumbang terbang mengerumuni bunga-bunga kemboja merah yang bermekaran. Binatang penghasil madu tersebut menghisap madu kemboja yang bersembunyi di kelopak dan putik sari bunganya. Selembar daun kemboja luruh. Warnanya menyala di dekapan hamparan hijau rumput gajah mini yang memesona. Atika bergegas memungut bunga itu dengan tangan kanannya. Perlahan ia mengangkat bunga itu lalu menciuminya. Atika merasakan kepuasan yang tiada tara. Ia seakan bertemu dengan Kang Jais yang telah lama pergi merantau ke negeri seberang. Atika berharap Kang Jais datang lalu menyelipkan bunga itu ke rambutnya.
“Kang Jais…!!!” lirih suara Atika ketika mencium bunga kemboja merah.
“Aku Bapakmu. Jaismu telah lenyap ditelan kabut asap. Wong edan!” umpat ayah Atika.
“Jangan berkata seperti itu ayah! Kang Jais akan baik-baik saja di perantauan. Dia akan segera pulang lalu melamarku,” kata Atika manja.
“Weleh, kemayu! Kamu ini anak wanitaku satu-satunya. Jangan berharap banyak pada lelaki yang tak juntrung rimbanya. Masak bertahun-tahun bekerja di negeri orang tidak pulang-pulang? Nduk, di dunia ini bukan Jais saja yang laki-laki. Banyak lelaki yang lebih tampan dan lebih mapan daripada Jais. Sadar, Nduk!” Atika tak menggubris kata-kata ayahnya. Dia tetap menimang-nimang bunga kamboja merah yang luruh di wajah rerumputan taman.
“Nduk, kamu tidak mendengarkan ayah?”
“O, iya Kang Jais.”
“Kang Jais, Kang Jais udhelmu. Aku ayahmu,” umpat ayah Atika.
Ayah Atika masuk ke rumah. Tak lama kemudian dia datang lagi sambil membawa kapak. Dia berniat memotong kemboja merah yang menjadi teman Atika semenjak ditinggal pergi oleh Kang Jais.
“Akan kau apakan kemboja merah ini ayah?”
“Akan kupotong. Ini bunga pembawa sial. Bunga pekuburan.”
Tangan kekar ayah Atika mengangkat tinggi kapaknya. Dia ingin menebang pohon kemboja merah di pelataran rumahnya karena dia yakin bahwa kemboja merah ini yang menjadi penyebab istrinya sakit.
“Bunuhlah aku dulu ayah!” kata Atika sambil melindungi batang kemboja dari ayunan kapak ayahnya.
“Minggir, Nduk!”
“Tidak. Aku tidak akan minggir sebelum ayah mengurungkan niat menebang kemboja ini.”
“Kau anak durhaka. Kau menghendaki kematian ibumu? Semenjak kemboja merah ini kau tanam di sini, sakit ibumu semakin parah.”
“Jangan menyalahkan kemboja merah yang tidak memiliki daya apa-apa. Salahkan ayah sendiri mengapa ayah membawa pulang ibu secara paksa dari rumah sakit. Padahal, ibu belum sepenuhnya sembuh?”
Ayah dan anak ini hampir saja dikuasai amarah. Tangan ayah Atika bergetar dan ingin segera menampar wajah anaknya. Atika yang tetap berpegang teguh pada pendirian bahwa kemboja merah bukanlah penyebab sakit ibunya pasrah menerima perlakuan apapun dari ayahnya.
“Bunuh saya ayah! Bunuhlah!” kata Atika dalam tangis nestapa.
“Kamu ini anak keras kepala!” ucap ayah Atika sembari meninggalkan Atika sendiri di dekat kemboja merah.
Ayah Atika kecewa karena tidak mampu meyakinkan anaknya kalau kemboja merah ini merupakan bunga sial. Dia sangat yakin bahwa bunga yang dipungut Jais dari pekuburan ini ada penunggunya. Dia percaya pada anggapan warga kampung halamannya bahwa sakit yang diderita istrinya itu diakibatkan penunggu kemboja merah ini mengamuk. Dedemit itu tidak rela kalau persemayamannya dibawa pulang Jais lalu diberikan kepada Atika.
Di samping itu, aroma kemboja tidak seperti aroma bunga-bunga yang lain. Aroma kemboja bersumber dari aroma mayat. Ayah Atika berkeyakinan kalau wangi kemboja yang setiap hari menyelinap di indera penciumannya adalah aroma mayat-mayat yang berada di sekitarnya.
“Ini bunga mayat. Bunga inilah yang menyebabkan ibumu selalu mengigau tentang kematian.”
“Ayah…, ayah! Ayah ini ngawur!” kata Atika yang sudah biasa ceplas-ceplos ketika berbicara dengan ayahnya.
“Segera buang bunga ini! Ibumu selalu ketakutan kalau melihat atau mencium bau bunga kuburan ini.”
“Jangan-jangan, ayah sendiri yang ketakutan?” sahut Atika setengah bergurau. Ayah Atika terdiam. Dia kesal dengan anaknya di pekarangan rumah.
Atika yakin bahwa anggapan ayahnya salah. Kemboja bukanlah bunga kematian. Kemboja merupakan bunga yang memiliki banyak manfaat dan khasiat. Bunganya yang indah dan selalu muncul setiap saat menjadi alasan pertama Atika menanam bunga ini di pekarangan rumahnya. Alasan kedua, kemboja juga dapat dimanfaatkan sebagai obat alternatif sakit gigi. Atika ingin sekali menyampaikan hal ini kepada ayahnya agar ia tidak selalu mengaitkan lagi bunga pemberian Kang Jais ini dengan sakit yang diderita ibunya.
Akhirnya, kesempatan yang ditunggu-tunggu Atika tiba juga. Siang itu ayah Atika sedang mengerang kesakitan sambil memegangi pipi kanannya. Mukanya merah padam karena menahan sakit yang tak kunjung reda.
“Kenapa, Ayah?” tanya Atika.
“Sudah tahu sakit gigi kok masih ditanya.”
“Sudah minum obat?”
“Sudah. Obat yang saya beli di apotek tempo hari sudah kuminum. Namun, sakitnya belum kunjung reda.”
Tanpa basa-basi Atika memetik daun kemboja. Ia meneteskan getah kemboja pada segelintir kapas.
“Mana yang sakit, Yah? Coba buka mulut ayah!” pinta Atika.
“Akan kau apakan saya dengan getah kemboja ini?”
“Ingin sembuh atau tidak?” tanya Atika sambil bergurau.
“Yo, jelas ingin sembuh.”
“Makanya jangan banyak tanya. Ayo, mendekat ke sini!”
Ayah Atika berjalan mendekati anaknya yang telah menyiapkan getah kemboja pada gelintiran kapas. Perlahan Atika memasukkan kapas pada gigi ayahnya yang berlubang.
“Sudah, Yah! Jangan dibuka dulu mulutnya!”
Selang beberapa menit rasa sakit pada gigi ayah Atika mereda. Dia tidak merasakan sakit lagi seperti sebelum diberi getah kemboja oleh anaknya.
“Bagaimana, Yah? Tidak sakit lagi, kan?”
Ayah Atika tidak segera menjawab pertanyaan Atika. Dia malu mengatakan apa adanya. Dia memalingkan tubuhnya lalu masuk ke rumah begitu saja.
Atika tersenyum geli melihat sikap ayahnya. Dia yakin mulai hari ini dan seterusnya ayahnya tidak akan lagi menyebut bunga kemboja sebagai bunga kematian. Dia tidak akan memotong paksa bunga pemberian Kang Jais.
Benar sekali dugaan Atika. Keesokan harinya, ayah Atika membawa seember air. Dia menyiramkan air tersebut pada batang kemboja. Kemboja merah berbunga indah tetap berdiri kokoh di pelataran rumah Atika. Bunga kenang-kenangan Kang Jais tersebut tampak lebih segar. Bunga itu akan tetap di pelataran rumah Atika sebagai penghias rumah dan prasasti cintanya sepanjang masa.
TAMAT